Tulisan ini merupakan transkrip dari video essay dengan judul sama, yang diambil dari tesis saya dan sebagian isinya dipublikasikan juga dalam Jurnal Urban.
Apakah Anda suka menonton film fiksi?
Apakah Anda sadar kalau film yang Anda tonton adalah sebuah kebohongan atau ilusi?
Mengapa Anda rela mengeluarkan uang demi menikmati ilusi tersebut?
“Jika mata benar-benar sadar, maka tidak akan ada yang namanya film.”
(Spottiswoode, Raymond. 1963. Film and Its Techniques. Berkeley: University of California Press.)
Kita bisa menonton film oleh karena adanya keterbatasan indra penglihatan yang disebut sebagai ilusi optik. Ada setidaknya dua puluh empat frame gambar yang ditampilkan secara bergantian dalam waktu satu detik, sehingga mata kita mempersepsikannya seolah-olah bergerak akibat terjadinya ilusi.
Dalam salah satu bukunya, Laura Mulvey menyebutkan bahwa:
“Sinema menyatukan ilusi serta penipuan melalui keajaiban alamiah, dengan memberikan pembaruan akan sebuah tempat sempurna untuk memainkan drama realitas, alam bawah sadar, dan imajinasi yang berkelanjutan.”
(Mulvey, Laura. 2006. Death 24x a Second: Stillness and the Moving Image. London: Reaktion Books.)
Permasalahan ilusi dalam sinema dapat kita lihat dalam dua film Indonesia, dengan latar urban Jakarta di era digital, yang berjudul Love for Sale dan Love for Sale 2. Protagonis film pertama adalah Richard, sedangkan protagonis di film kedua adalah laki-laki lain bernama Ican. Para protagonis laki-laki ini menyewa jasa teman kencan lewat aplikasi Love.inc, demi memenuhi tuntutan lingkungan sosialnya untuk memiliki pasangan. Mereka pun berkenalan dengan Arini, perempuan yang bisa menjelma menjadi sosok kekasih idaman mereka. Arini di film pertama muncul dengan identitas Arini Kusuma, sedangkan di film kedua, ia berganti persona menjadi Arini Chaniago, menyesuaikan dengan kebutuhan kliennya masing-masing. Ketika Richard dan Ican akhirnya benar-benar jatuh cinta dengan Arini, Arini justru ghosting atau menghilang begitu saja, setelah kontrak kerja mereka berakhir.
Benang merah kedua film ini adalah tokoh perempuan bernama Arini. Meskipun bukan menjadi protagonis dalam kedua film tersebut, namun Arini memiliki peran yang sentral. Kemisteriusan yang ditampilkan oleh tokoh Arini, terutama karena ia melakukan ghosting terhadap para protagonis laki-laki, memiliki daya tarik tersendiri bagi para penonton dan menjadi bahan diskusi di dunia maya.
Sebenarnya, Visinema Content telah merilis film spin-off berjudul Arini by Love.inc, yang menceritakan kehidupan Arini sebagai protagonis. Namun, film spin-off tersebut memiliki visi artistik serta mengangkat permasalahan yang berbeda dari dua film pendahulunya. Dengan demikian, kajian pada video ini hanya akan berfokus film Love for Sale dan Love for Sale 2 produksi Visinema Pictures.
Love for Sale dan Love for Sale 2 adalah film tentang sandiwara di dalam sandiwara. Della Dartyan, pemeran tokoh Arini, melakukan acting di dalam acting. Tokoh Arini yang masih misterius pada kedua film ini merepresentasikan suatu masalah kepenontonan yang menarik untuk dibahas. Permasalahan menarik dalam kedua film ini adalah bagaimana Arini dibayar oleh para protagonis laki-laki untuk berbohong. Semakin meyakinkan ilusi atau tipu muslihat yang dimainkan oleh Arini, maka ia dianggap semakin berhasil dalam pekerjaannya.
Pertama-tama, kita lihat dari setting kedua film yaitu kota Jakarta di era digital. Dari editing film, baik penggunaan timelapse, fast forward, maupun cut to di sejumlah scene, kita bisa lihat bagaimana budaya instan atau serba cepat ada di kedua film.
Gambar 1. Lanskap kota Jakarta
(Sumber: Film Love for Sale, 2018)
Pada shot lanskap ini (lihat Gambar 1), kita bisa lihat Jakarta bagaikan memakai topeng. Di balik fasad gemerlap terang benderang dari gedung-gedung tinggi yang megah, tersembunyi wilayah gelap yang kumuh. Jadi, seperti ada ilusi kemewahan yang ditampilkan kota Jakarta. Selain itu, Jakarta di kedua film ditampilkan sebagai kota yang sesak akan komodifikasi.
“Komodifikasi adalah proses yang menjadikan hal-hal atau objek material, termasuk layanan dan ide, sebagai komoditas untuk dibeli serta dijual di pasar.”
(Pearson, Roberta E. & Phillip Simpson (penyunting). 2001. Critical Dictionary of Film and Television Theory. London & New York: Routledge.)
Menurut Jean Baudrillard dalam buku The Consumer Society, masyarakat konsumen modern mengonsumsi bukan hanya barang, namun juga jasa dan hubungan manusia. Senada dengan judul film ini sendiri yaitu “Love for Sale” yang artinya “Cinta untuk Dijual”, kedua film ini coba untuk mengangkat isu komodifikasi cinta dan tubuh perempuan.
Tokoh Arini di kedua film ditampilkan sebagai subjek yang menjadi komoditas dan tontonan. Untuk promosi film Love for Sale 2, Visinema Pictures merilis beberapa poster tokoh-tokoh di film ini.
Gambar 2. Poster Arini di balik etalase
(Sumber: Film Love for Sale 2, 2019)
Poster yang paling menarik adalah visualisasi tokoh Arini itu sendiri (lihat Gambar 2). Pada poster ini, Arini seolah-olah bagaikan terpajang di balik etalase toko. Ini menjadi penanda kalau perempuan bisa menjadi komoditas, tontonan, dan bisa dipamerkan. Christian Metz pernah mengatakan kalau:
“Harus ada jarak yang dijaga antara dirinya dan gambar, karena cinephile membutuhkan celah, yang bisa merepresentasikan jarak antara keinginan dan objek baginya.“
(Metz, Christian. 1975. “The Imaginary Signifier” dalam Screen 16, no. 2.)
Kaca etalase di poster ini berfungsi untuk menjaga hasrat pemirsa terhadap komoditas yang diinginkannya akibat adanya jarak. Dengan demikian, Arini menjadi fetish-on-display yang membuat orang berhasrat terhadapnya.
“Segala sesuatu yang diinginkan, mulai dari seks hingga status sosial, dapat diubah menjadi komoditas sebagai fetish-on-display yang membuat banyak orang terpesona, bahkan ketika kepemilikannya berada di luar jangkauan mereka.”
(Buck-Morss, Susan. 1989. The Dialectics of Seeing. Cambridge: MIT Press.)
Hal lain yang cukup menonjol dari mise-en-scene kedua film adalah penggunaan lampu neon. Credit titles film diperlihatkan dengan efek visual berkedap-kedip layaknya lampu neon. Hal ini sesuai dengan tema kedua film yang mengisahkan laki-laki korban ghosting, sehingga jejak yang ditinggal tokoh perempuan layaknya lampu neon, yang kadang muncul dan kadang menghilang.
Biasanya, lampu neon digunakan bukan untuk menerangi ruangan, melainkan untuk tujuan estetika. Lampu neon di sejumlah pusat perbelanjaan berfungsi untuk mempercantik komoditas. Dalam kedua film, Arini disewa jasanya karena kecantikannya. Atau dengan kata lain, kecantikan perempuan bisa menjadi nilai jual tersendiri. Kecantikan perempuan menjadi hal yang berulang-ulang dibicarakan dalam dialog di kedua film. Richard dan Ican sama-sama menyebutkan cantik atau penampilan menarik sebagai kriteria perempuan idamannya. Glorifikasi terhadap kecantikan perempuan semakin terdengar jelas di dialog pada sekuel film Love for Sale 2.
Kecantikan tokoh Arini ini juga dieksploitasi dengan penggunaan close up di konsep sinematografinya. Male gaze protagonis laki-laki terlihat dari point-of view shot wajah Arini berukuran extreme close up seperti di shot ini (lihat Gambar 3).
Gambar 3. POV Ican menatap Arini
(Sumber: Film Love for Sale 2, 2019)
Konsep male gaze dicetuskan oleh seorang tokoh teori film feminis asal Inggris bernama Laura Mulvey. Laura Mulvey dalam buku Fetishism and Curiosity menyebutkan bahwa close up, terutama terhadap bintang film perempuan, memainkan peran dalam perkembangan sinema sebagai industri dan sebagai sekumpulan konvensi. Menurut Jean-Luc Godard:
“Ada sebuah legenda yang mengatakan bahwa D. W. Griffith termotivasi oleh kecantikan pemeran utama perempuannya, sehingga ia menciptakan close up demi menangkap detail yang lebih besar.”
(Godard, Jean-Luc. 1968. “Defence and Illustration of Classical Cinema” dalam T. Milne (penyunting). New York: The Viking Press.)
Dengan demikian, ada kaitan antara penggunaan close up dan eksploitasi kecantikan tokoh perempuan dalam film.
Teori film feminis sendiri banyak meminjam pemikiran psikoanalisis. Salah satu pembahasannya adalah tentang scopophilia atau kenikmatan menatap. Berdasarkan pandangan psikoanalisis Jacques Lacan, kesenangan menatap sebenarnya sudah ada sejak fase cermin atau sejak seorang anak melihat pantulan dirinya sendiri di cermin. Cermin di sini tidak harus selalu dimaknai secara harfiah dalam wujud cermin sesungguhnya. Pantulan diri sendiri bahkan bisa kita lihat saat melihat layar telepon genggam atau televisi, maupun saat menatap iris mata orang lain. Ada suatu voyeurism atau kenikmatan saat menatap mata orang lain, karena terkadang kita bisa melihat pantulan diri kita sendiri di iris mata orang tersebut.
Konsep lain dari teori film feminis yang terdapat dalam kedua film adalah feminitas sebagai masquerade. Dalam pandangan psikoanalisis Freudian, perempuan dianggap mengalami penis envy atau iri hati terhadap laki-laki karena merasa dirinya kekurangan phallus. Feminitas menjadi strategi perempuan yang menyembunyikan hasrat untuk memiliki kekuatan maskulin atau phallus, dengan pembentukan reaksi yang berkebalikan berupa sandiwara ketidakberdayaan. Ini terlihat pada adegan ketika Arini berpura-pura sedih saat Richard hendak memulangkannya sebelum kontrak kerja mereka berakhir. Tokoh psikoanalisis bernama Joan Riviere mengatakan bahwa feminitas diasumsikan seperti topeng, untuk mengalihkan perhatian dari keinginan perempuan akan kekuasaan atau maskulinitas melalui kebalikannya, yaitu dengan membangun citra dirinya yang sangat feminin dan tidak mengancam.
Ada permainan politik seksual yang hadir dalam kedua film. Politik seksual meliputi kontestasi hubungan struktur kuasa antara laki-laki dan perempuan pada sistem sosial patriarki. Richard dan Ican mendapatkan tuntutan, yang bersifat patriarki dari lingkungannya, untuk mencari pasangan yang ideal. Kemudian, kedua laki-laki ini meminta Arini untuk memainkan peran sesuai dengan permintaan khusus dari mereka. Arini terpaksa ‘mematikan’ karakter atau jati dirinya sendiri, demi bisa menjelma ke dalam persona yang diminta para laki-laki ini kepadanya.
Para tokoh sentral dalam kedua film ini berpolitik untuk memenuhi keinginan dan hasrat mereka. Ibu Rosmaida menggunakan alasan kematian supaya Ican segera menikah. Richard dan Ican mengambil jalan instan, dengan menyewa jasa teman kencan lewat aplikasi Love.inc, demi memenuhi tuntutan lingkungan sosial mereka. Namun, di antara semua tokoh di kedua film ini, Arini adalah karakter yang paling berpolitik. Dari awal kemunculannya, Arini sudah menggunakan strategi masquerade dengan mengenakan persona yang dihasratkan para kliennya. Ada upaya-upaya performativitas yang dilakukan Arini supaya berhasil dalam profesinya sebagai teman kencan bayaran. Misalnya, ia berlagak menyukai pertandingan sepak bola saat memakai topeng Arini Kusuma; atau, ia berbicara dengan logat Minangkabau yang dibuat-buat dan mengenakan pakaian yang sopan saat menjelma dengan persona Arini Chaniago.
Ilusi yang dihadirkan Arini merupakan bagian dari politik seksualnya, melalui estetika penyamaran dengan banyak persona. Topeng di sini tidak selalu bermakna negatif, sebab acting yang dilakukan Arini justru bertujuan untuk membawa kebahagiaan bagi orang lain. Kehadiran Arini membuat Richard di film pertama menjadi lebih ramah terhadap para karyawannya dan keluarga Sikumbang di film kedua menjadi lebih harmonis. Menurut pandangan konsekuensialisme, sebuah kebohongan atau penyamaran tidak masalah dilakukan asalkan tujuannya baik.
Konsep masquerade ini juga dibahas oleh Mary Ann Doane dalam bukunya yang berjudul Femmes Fatales. Dalam buku ini, Mary Ann Doane menyebutkan bahwa femme fatale adalah sosok kegelisahan diskursif tertentu serta potensi trauma epistemologis. Karakteristiknya yang paling mencolok adalah kenyataan bahwa ia tidak pernah benar-benar seperti yang terlihat. Laura Mulvey juga mengatakan bahwa fantasi bawah sadar laki-laki membangun hasrat akan femme fatale sebagai hasrat perempuan yang dikastrasi, untuk mendapatkan kembali phallus miliknya yang hilang, dengan melakukan tindakan kastrasi terhadap tokoh laki-laki.
Ciri-ciri karakter femme fatale adalah cantik, menarik, misterius, ambivalen, namun berbahaya serta berwajah dua. Tokoh Arini bisa dikatakan sebagai femme fatale, namun ada redefinisi dari konsep karakter tersebut dalam kedua film. Kalau di kebanyakan film Hollywood, femme fatale muncul pada karakter perempuan cantik, namun bisa membunuh. Tokoh Arini di film Love for Sale dan Love for Sale 2 tidak membunuh para protagonis laki-laki secara fisik, namun menyebabkan kerusakan yang sifatnya emosional (emotional damage), melalui tindakan ghosting alias menghilang tanpa kabar, setelah mereka benar-benar jatuh cinta terhadapnya.
“Ghosting adalah penggunaan paling pamungkas dari perlakuan diam, sebuah taktik yang sering dilihat oleh para profesional kesehatan mental sebagai bentuk kekejaman emosional.”
(Navarro, Raul, et al. 2020. "Psychological Correlates of Ghosting and Breadcrumbing Experiences: A Preliminary Study among Adults" dalam International Journal of Environmental Research and Public Health 17, no. 3, hlm. 1-13.)
Richard dan Ican terlihat gamang setelah ditinggal oleh Arini. Perasaan kesepian yang dirasakan oleh para protagonis laki-laki di kedua film digambarkan dengan penggunaan framing gambar berukuran long shot dan soundtrack lagu lawas dengan lirik yang lirih. Ironisnya, ghosting justru mendorong pihak korban menjadi semakin berhasrat pada pelaku yang meninggalkannya, dikarenakan ada jarak yang terjaga di antara keduanya. Mereka mengalami sebuah ilusi bahwa sosok kekasihnya itu sudah tidak bersamanya lagi secara fisik, namun bayang-bayang atau ‘hantu’ sang mantan kekasih masih bisa terus dirasakannya.
Di sisi lain, ghosting yang dilakukan oleh Arini merupakan strategi politis untuk mengakhiri hubungan. Ini menyimbolkan sebuah sikap perempuan, yang hidup di ranah urban pada era digital, yang tidak bisa dibelenggu oleh fantasi patriarki dan dominasi laki-laki. Dengan demikian, Arini berhasil merebut agensinya kembali dan memerdekakan dirinya sendiri dari tuntutan para kliennya dengan cara melakukan ghosting.
Melalui tindakan ghosting, tokoh Arini pada kedua film ini juga digambarkan seperti ‘hantu’. Apalagi, Arini secara konsisten pertama kali muncul di kehidupan para klien laki-lakinya pada adegan malam hari. Lalu, ia pergi juga dengan cara ghosting saat hari masih gelap.
Penggambaran tokoh perempuan seperti ‘hantu’ yang berusaha memenuhi fantasi protagonis laki-laki juga terjadi pada film Vertigo karya Alfred Hitchcock. Dalam kajiannya terhadap film tersebut, Laura Mulvey menyebutkan istilah perempuan sebagai ilusi. Seperti Arini, tokoh Judy di film Vertigo dibayar oleh Scottie untuk berpura-pura menjadi sosok fiktif bernama Madeleine. Menurut Laura Mulvey, penolakan Scottie terhadap Judy untuk citra palsu Madeleine secara langsung membangkitkan penolakan fetishist terhadap perempuan asli. Istilah kesempurnaan, phantom, dan proyeksi di sini menunjukkan gerakan antara keinginan terhadap perempuan sebagai ilusi dan menyerah pada ilusi sinematik. Dengan demikian, perempuan yang sesuai fantasi laki-laki adalah ilusi.
Jika Laura Mulvey pernah menulis tentang Visual Pleasure and Narrative Cinema, maka gagasan dalam kajian ini adalah Illusion Pleasure and Fictional Cinema. Ada ilusi tertentu yang sebenarnya dinikmati dan bahkan dikonsumsi oleh manusia. Kita lihat pada contoh kasus kedua protagonis film tersebut. Richard berkenalan dengan perempuan bernama Keke. Namun, saat Keke mulai bersikap terlalu jujur dan frontal, Richard merasa takut dan tidak nyaman. Begitu pula dengan Ican, yang awalnya sempat ada ketertarikan dengan Poppy. Ican berubah menjadi tidak tertarik lagi oleh sikap jujur gadis itu yang apa adanya. Anehnya, kedua protagonis ini justru jatuh cinta dengan Arini yang penuh ilusi dan kepura-puraan. Bahkan, mereka tahu kalau sebenarnya Arini adalah perempuan yang sengaja mereka bayar untuk berbohong.
Ilusi bisa menjadi suatu bentuk mekanisme pertahanan diri yang menyublimasi kecemasan manusia ke dalam sebuah tontonan yang menghibur. Dalam kedua film tersebut, Arini memainkan ilusi untuk memuaskan kebutuhan kliennya dengan sangat baik. Tokoh Arini dalam film Love for Sale dan sekuelnya merupakan perwujudan ilusi sinema itu sendiri: sama-sama penuh acting atau kepura-puraan dengan mengenakan persona tertentu, yang bertujuan untuk membahagiakan dan memenuhi fantasi orang lain, serta dibayar untuk berbohong atau dinikmati ilusinya.
Ghosting yang dilakukan oleh Arini di akhir masing-masing film mirip dengan pengalaman penonton ketika film berakhir. Terkadang, ada bayang-bayang adegan film yang masih membekas dalam benak kita, meskipun kita sudah tidak bisa menonton film itu lagi. Apalagi, di era digital seperti sekarang ini, akses kepemilikan film menjadi semakin maya.
Video esai ini adalah bagian dari tesis berjudul “Perempuan sebagai Ilusi: Politik Seksual dalam Ranah Urban Jakarta pada Film Love for Sale dan Love for Sale 2” oleh Erina Adeline Tandian
Special thanks to Nan T. Achnas, Ph.D & Dr. L.G. Saraswati Putri
Sekolah Pascasarjana IKJ 2022
---SELESAI---
15 September 2022